Story of Comeback #menjadijujur

Well hi blog,

It's been a long time. 

I don't know exactly if people still blogging or not, i just want to write something....i guess.

For a past few year, my life has been a roller coaster. I know it sounds a cliche when i'm saying this kind of thing but it is. It is a crazy up and down circumstances that i have been through. Let me tell you a story that no one has ever know untill recently...


Menjajaki usia 20an memang sesuatu. Aku ingat ketika aku di umur 15an, banyak orang dewasa yg selalu bilang ke aku kalau usia 20an itu usia yg sangat memorable. People can only live 20's once. So di usia 20 harus benar-benar dinikmati. Kalau mau bandel silahkan, kalau mau membangun karir juga silahkan. The older you are, the wiser you become adalah salah satu hal yg kupercayai, but what i found is shocking me. Masuk di usia 20an, aku merasa mulai terbalik. Terbalik dalam hal perspektif dan bersikap. Dari kecil aku selalu dianggap anak yang dewasa, tidak pernah marah (which is makes me kind of angel person), selalu bahagia dan selalu jadi life of the party when i'm with my friend. Padahal ada hal yg aku sembunyikan di saat itu bahwa hampir setiap malam, aku akan menangisi banyak hal. Dari yg ada alasannya sampai yg tidak beralasan. I felt so weird and i hated myself because of that. When i'm crying, i will saying this to myself: "Nanti kalau udah dewasa pasti udah gak akan nangis lagi" but it is completely a bullshit. Sampai di umur ini, aku masih menghabiskan malamku dengan menangis. Meskipun kadang beda-beda kadar nangisnya tapi ya masih. At some moment, i finally gone mad. I mean, why i'm still crying and pitying myself? Hal yg paling kubenci adalah ketika melihat diriku sendiri di keadaan yg menyedihkan dan hal yg paling menyedihkannya lagi adalah i couldn't tell about it to anyone because no one will understand.

Istilah personalities like Introvert, Extrovert, Mental Health adalah istilah-istilah yang baru kukenal saat di tahap akhir SMA menuju kuliah. Aku sangat menyesal tidak pernah benar-benar mengenal istilah ini sedari kecil karena kalau aku tahu, mungkin aku bisa menyelamatkan sebagian dari hidupku. Aku kira aku hanya orang yg mudah sekali untuk berganti mood, namun ternyata aku menemukan kalau ini lebih dari sekedar mood. 

I was diagnosed with an ADULT ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) 5 years ago and it was something that ruined me inside. ADHD is a mental illness but also disability for me. I mean, knowin' that you have a broken personality? Mengetahui ada ketidakseimbangan di otakmu dan itu akan mempengaruhimu for the rest of your life? For those of you who doesn't know what ADHD is, simplenya ADHD adalah penyakit mental yg biasa ditemukan di anak kecil. Ketika seorang anak didapati memiliki kekurangan dalam fokus, mudah terdistract, memiliki hiperaktif baik emosi dan tingkah laku, sangat susah mengontrol emosi (that's why we are so moody) yg akhirnya berujung ke stress bahkan depresi. Ketika seorang anak ditemukan memiliki ADHD, anak tersebut akan segera ditreatment karena ditakutkan akan mempengaruhi kehidupan dewasanya, but it is too late for me. I wish our education system bisa lebih membantu untuk mengenal hal-hal seperti ini, but as we can see, the Asian parents system memiliki pemahaman kalau penyakit-penyakit mental itu bukan sesuatu yg harus diseriuskan, penyakit itu ketika anak-anaknya sudah didapatin berdarah atau mimisan haha. Hal-hal seperti ini untuk kebanyakan orang tua akan direspon seperti "Kamu kayak orang kurang beriman aja", "Makanya banyak berdoa". Because i'm very confused, at that time i've decided to keep it to myself. I never tellls no one untill this day. My introvert personality helps me to always hiding my true me, deep inside. But eventually, memang apapun yg dipendam, akan selalu berakhir kurang baik. Masuk di usia 23an, seperti bom waktu, i can't even control myself. It got me. I'm starting to having an extreme angriness inside myself. Because i'm in the low level of my life and i can't help myself, i blame it ke orang-orang yg kupikir membuat pengaruh ini. Orang-orang yg ngebully aku pas SD & SMP (if you're reading this, you know who you are and i want to say congratulation sudah merusak seseorang dengan kelakuanmu), orang-orang yg kupercaya akan menjadi sebuah komunitas sehat untukku tapi nyatanya malah merusak kepercayaan dan kepribadian, and to my parents. Yeah, my parents playin such a big role to this brokeness. I mean, do they know that what they did affecting my life untill now? Do they know that they were ruining my life? But i'm scared to tell the truth because right now i'm livin in the society yang memiliki asumsi bahwa hal-hal berbau mental illness ini adalah drama. Kenapa? Karena banyak yg self-diagnosed dirinya depresi atau semacemnya, hanya karena sedang diberikan suatu ujian di hidupnya dan mengalami a shitty condition, dan karena manusia saat ini tidak lagi mau benar-benar mendengar dan memahami makanya dengan cepat menyimpulkan asumsi "Drama" or "Baper" so thanks. Thanks for making people who really have a mental ill ridiculous with your diagnosed. More funny thing, they really proud to have a (fake) mental ill karena itu membuat banyak perhatian tertuju ke dia. Banyak banget orang yg suka cerita depan mukaku "Iya nih, soalnya gue depresi", "Yah abisnya gue kan depresi, ya ngertiin dong harusnya" making that as an excuse, sedangkan yg beneran mental ill hanya bisa marah dan merasa tersiksa dihidupnya karena tidak bisa menerima.

I can't accept this. Aku sangat perfeksionis kalau dengan diriku sendiri, i really hard on myself. I can be tolerance to others, saying a nice thing to other but me? No. I hate myself so i keep pushing myself. Ketika kambuh, makanya aku hanya akan menangis mengejek2 hidupku sendiri. Basically, pitying myself. Makanya ketika hal ini kambuh di usia 23an, aku mulai menyalahkan orang-orang itu karena aku berpikir "andai dulu kamu bisa lebih baik..." , "Andai dulu mereka ga memutuskan untuk bertindak atau berkata hal seperti itu.." bisa meerubah banyak hal. The fact of knowing orang-orang ini hidup dengan cukup bahagia, agak mengusikku, i mean i want to shout in front of their face and saying "DO YOU KNOW THAT YOU FUCKING RUINED MY LIFE WITH YOUR WORDS AND BEHAVIOR?" but sadly i can't. I have to keep continue loving and caring them. I even got angry to God at some point, like... what the hell you making this happen to my life? I mean, i'm trying to love you with my best but can you at least, make my life better? (please jangan ditiru, God is good all the time) dan itu berujung ke pemikiran untuk mengakhiri diri. I mean, like i said... i'm in the low. I just want this to be stop. I just want to shut down myself, makin all the noises inside my head stop. Ketika aku ditreatment, ahli yang menangani, menawarkan aku obat antidepressan berkali-kali. Selalu aku tolak karena aku tidak mau terikat dengan obat. Toh, aku seorang yg religius, mungkin itu bisa menyelamatkanku. But there is nothing that can help yourself so for the first time, i'm trying to get some help from my family. I told my mom about what happen and my condition. I wasn't expect for anything, i just want to tell her that maybe she would face my low version of my life and hoping that she will at least, understand. Then my mom told me "Ya makanya kamu lebih beriman dong, kamu kayak ga punya Tuhan aja sih ngomongnya" diikuti dengan respon lanjutan "memang hal-hal seperti ini harus sampe diobati?" intinya, dia menolak bahwa hal ini beneran nyata. Suddenly, i feel so small. Hidupku benar-benar jadi sebuah kekonyolan. 

Dari dulu, aku memang memiliki sifat "overcontrolling" dan "impulsif" (later i know) berusaha mengontrol agar semua sesuai jalur dan tidak ada plan yg berantakan. Namun namanya hidup, hidup pasti memiliki kejutan. Ya contohnya having mental ill ini, merusak rencana hidupku. Aku berusaha keras agar itu tidak mempengaruhi dan kambuh dengan caraku namun sembari aku marah dengan kenyataan dan tidak bisa ihklas bahwa aku harus menerima bagian hidupku yg ini, i won't accept any failure. Sifatku ini mungkin juga akhirnya berpotensi menyakiti atau annoying orang-orang sekitarku. Hal yg baik buatku memang belum tentu baik bagi orang lain. Kesalahanku? Selalu mengutamakan orang lain. When myself at the lowest, and my family can't even help me, i realized that no one will ever be able to help me. I blame myself, cursing myself instead of berdamai dengan diri sendiri. Aku malah memilih menyerah sama diriku dibandingkan aku mulai memperbaiki diriku karena yang bisa memperbaikinya hanyalah aku dan Tuhan. 

Suatu hari, setelah hampir dua minggu kambuh dan terus-terusan menangis. Aku seperti diberi POV orang ketiga oleh Tuhan. Mungkin ya, mungkin. Membayangkan aku melihat hidupku dari perspektif orang ketiga. Sepertinya menyedihkan ya untuk selalu menyalahkan dan mengutuk diri sendiri dan menyerah. Dengan kesadaran penuh bahwa yg bisa menolongku hanyalah Tuhan dan diriku sendiri, i'm trying to get myself back to the game. Mungkin sudah terlalu lelah 24 tahun terus di keadaan ini, aku memutuskan untuk ihklas. Ihklas bahwa diriku memang seperti ini. Ihklas bahwa memang ada kekurangan namun mungkin pada waktunya, kekurangan itu bisa jadi kelebihanku. Nyatanya, dengan mengalami ini, aku sudah punya cerita lagi yang justru malah jadi pembelajaran baru buat aku. Hopefully jadi sebuah inspirasi juga buatmu yg sedang baca. Aku sadar bahwa aku ga akan bisa mengasihi orang dengan utuh apabila aku belum mengasihi diriku sendiri. Aku tidak bisa memberikan energi sepenuhnya untuk orang lain, apabila aku ga benar-benar mengisi diriku sendiri. "I'd learned to love myself because no one can, only me. For i know who's within me. God is within me, not against me...like people did." Mungkin aku harus mundur beberapa langkah dulu untuk bisa maju lebih banyak ke step berikutnya. And yes indeed, trough the brokenness, light came in. Now the new chapter begin.

Why i've decided to tell you this story now? Apa aku mencoba untuk drama juga? No.

Honestly, it terrifies me untuk benar-benar terbuka mengenai diri sendiri, karena aku selalu menyembunyikan apapun tentang diriku kecuali hal-hal yg aku suka dan makanan favoritku. Namun, ahli yg menanganiku, orang yang mencoba menyayangiku apa adanya dan orang-orang sekitarku yg juga mulai terbuka dengan kondisi yg serupa menginpirasiku, mereka bilang bahwa "dengan menjadi terbuka, kamu sedang belajar menerima dirimu sendiri" lalu ada suatu film yg mengangkat tema ini, yg secara ndak sengaja aku tonton. Modern Love, episode 3 (WAJIB BANGET NONTON!) juga di akhir filmnya memberikan penggambaran visual bahwa menjadi terbuka bukan karena kita mau ber-drama atau meminta perhatian, namun belajar menerima kondisi diri dengan menginfokan orang-orang yg dipercaya agar setidaknya, belajar memahami. Well, memahami itu memang salah satu yg membuat kita menjadi manusia bukan? 


Right now,

I'm still learning, this is all new for me. But don't worry it will be alright

Jikalau kamu mengalami hal serupa, usahakan dirimu agar mendapat pertolongan.

Jikalau kamu melihat ada yg mengalaminya, jangan abaikan.

Mental illness it's real. Let's be aware of it. 

Let's do better.





Terimakasih untuk kamu yang berani menjadi sebuah inspirasi

Finally,

Welcome back to my story :)

Hope you're doin okay, thanks for reading until here.



Love, 

R B K

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Video day's :D

- JC CUP 2011 - Slide Show!

Proud to be Indonesian?